Rabu, 06 Agustus 2008

Madura Ragam Budaya di Tanah Gersang

indosiar.com, Madura, adalah daerah yang kurang beruntung. Panas dan tandus.
Kendati demikian Madura memiliki tradisi dan kesenian unik, yang bukan hanya karapan sapi. Namun hanya sedikit orang yang tahu.

Kekayaan budaya Madura hanya noktah kecil di tengah ribuan tradisi yang ada di Indonesia. Kami akan ajak Anda melihat menemukan sebagian kecil dari tradisi dan kesenian itu.

Dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ke Pelabuhan Kamal Bangkalan hanya setengah jam dengan menggunakan Feri.

Sejak dahulu, Feri ini menjadi alat transportasi penting. Kesibukan Feri yang hilir mudik ini mungkin tidak akan lama lagi, karena dalam waktu akan ada jembatan sepanjang lima koma lima kilometer yang menghubungkan Surabaya dengan Madura.

Pulau Madura luasnya sekitar lima ribu kilometer persegi, sedikit lebih kecil dari Pulau Bali dan penduduk sekitar empat juta orang.

Kendati demikian Madura bukan daerah subur. Agak sulit memang sulit mencari hamparan padi yang hijau. Sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani tambak atau nelayan.Atau bertani garam. Garam inilah yang membuat Madura mendapat julukan Madura Pulau Garam.

Karena gersang dan tandus akhirnya, memaksa sebagian penduduknya memilih untuk merantau ke daerah lain. Jumlah mereka cukup besar enam juta orang.

Ada tiga jenis kekerabatan. Taret dalem yang berarti kerabat inti. Taretan semua untuk kerabat dekat dan taretan jauh untuk kerabat jauh.

Kendati alam kurang begitu ramah, namun Madura memiliki banyak hal yang menarik. Sumenep adalah pusatnya Madura. Kota ini usianya sekitar 730 tahun, dan tentunya banyak peninggalan masa lalu yang sedikit banyak bisa menceritakan tentang Madura.

Ini adalah Asta Tinggi yang lokasinya berada di perbukitan. Asta Tinggi adalah makam Raja Sumenep dan keturunannya. Makam ini dikelilingi pagar tembok dan batu kapur yang tersusun rapi tanpa menggunakan perekat. Dibangun sekitar tahun 1644 dengan gaya arstitektur campuran, Eropa - Islam dan Tiongkok. Masyarakat Madura sangat menghormati tempat di makam leluhur mereka di makamkan. Namun, ada pula sebagian orang yang menjadikan tempat ini untuk mencari jodoh dan ilmu - ilmu kebatinan.

Tidak jauh letaknya dari Asta Tinggi berdiri sebuah Kraton. Kraton ini dibangun Panembahan Sumolo pada tahun seribu tujuh ratus lima puluh. Bangunan ini bergaya campuran Eropa dan Tiongkok. Arsiteknya adalah seorang etnis Tionghoa pertama yang tinggal di Madura.

Etnis Tionghoa masuk ke Madura sejak tahun seribu tujuh ratusan. Mereka lari ke Sumenep karena di aniaya pada peristiwa pembantaian etnis mereka di Batavia.

Kota Sumenep berada di sebelah timur Madura. Dari Kamal, Bangkalan hanya ditempuh sekitar dua setengah jam melalui darat.

Di kota ini juga berdiri Masjid Agung yang dibangun sekitar tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan di atas tanah seluas satu hektar. Saat ini, Masjid Agung ini menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.

Sumenep adalah salah satu dari tiga kerajaan yang pernah berkuasa di Madura. Dua lainnya adalah Bangkalan dan Pamekasan. Kejayaan mereka berakhir setelah Belanda sekitar paruh abad kesembilan belas menguasai wilayah ini.

Bangunan ini hanya sepenggal dari cerita tentang Madura. Kini kita dengar dari mereka, mereka ini....

Nama besar Solo bisa jadi membuat hanya sebagian orang saja yang mengetahui batik Madura. Padahal seni membatik ini adalah salah satu yang telah membawa nama Madura hingga dikenal ke mancanegara.

Orang menggolongkan batik Madura sebagai batik pesisiran. Ia mempunyai karakter dan ciri sendiri. Motifnya kebanyakan tentang kehidupan alam sekitar. Seperti motif binatang dan tumbuhan.

Warna yang digunakan kebanyakan diambil dari alam, untuk warna merah hati diambil dari tanaman kaktus. Hijau tua dari pohon mondo, serta warna hitam yang merupakan campuran dari warna merah, hijau dan merah. Ada yang bilang, warna - warna ini adalah sikap dari orang Madura yang tegas.
Ahmad Zaini yang kami temui di Desa Pekandangan di Sumenep sudah hampir tiga puluh tahun menekuni usaha batik tulis. Membatik baginya adalah juga mempertahankan seni dan budaya daerahnya agar tidak hilang ditelan jaman.

Untuk satu lembar kain, Zaini bisa menyelesaikan selama tiga minggu. Memang cukup lama, karena ia membuatnya dengan tangan. Ini sangat membutuhkan ketelitian.

Mengenai harga, tidak terlalu mahal. Untuk kualitas sedang, harganya sekitar tiga ratus ribuan. Batik Zaini ini sudah cukup terkenal, sehingga biasanya pembeli yang datang mencarinya. Baik itu dari daerah maupun dari mancanegara.

Tidak berbeda jauh dengan batik. Motif ketegasan yang menjadi ciri khas etnis Madura juga bisa Anda lihat pada seni ukir. Ukiran ini memang belum bisa mengalahkan ukiran Jepara. Saat booming furniture tahun delapan puluhan, seni ukir Madura kurang di lirik.

Tidak ada warna gradasi atau lembut, semua jelas dan terang. Sekali lagi, sifat khas Madura tergambar dengan jelas, yakni berani. Bentuk dan warna di batik dan ukiran, kabarnya adalah bentuk perlawan terhadap dominasi Raja Jawa atas Madura pada tahun seribu enam ratusan.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mempertahankan dan melestarikan budaya dan kesenian ini.

Enam juta masyarakat Madura yang merantau memang menjadi persoalan sendiri. Mereka yang merantau sebagian pulang dengan membawa kebiasaan mereka yang baru di Tanah Sebrang.

Belum lama ini, sebuah sekelompok masyarakat di sini menggelar Kongres Budaya yang pertama kali dilakukan. Mereka kuatir kebudayaan Madura akan lenyap dan perlahan-lahan terkikis. Sebuah upaya, yang patut dihargai, kalau tidak mau dibilang belum terlambat.

Seluruh Kabupaten menampilkan kesenian dan tradisi mereka. Kebudayaan Madura memang bukan hanya karapan sapi, ternyata masih banyak yang belum dikenal luas. Rembukan ini menarik, karena memberikan secercah harapan untuk kembali mengangkat budaya dan kesenian dari daerah ini.

Kongres atau rembug budaya yang baru pertama kali dilakukan ini akan menampilkan ragam budaya dan kesenian dari pelosok daerah ini. Sayang Kalau Harus Punah

Keempat gadis ini akan menunjukan kebolehannya membawakan Tarian Potre Koneng. Busana dan perlengkapan yang mereka kenakan semua mengandung arti. Caduk mentul yang berjumlah tujuh, adalah simbol agar mereka dijauhkan dari marahabaya.

Kongres lebih mirip dengan unjuk kebolehan kesenian dari berbagai pelosok daerah di Madura. Tradisi lisan merupakan salah satu jenis kesenian dari Kabupaten Sumenep. Mereka menyebutnya Macapat. Macapat adalah kesenian berpantun yang biasa dipentaskan pada acara-acara tertentu.

Macapat ini biasanya mereka gabungkan dengan Topeng Dalang, yakni kesenian mirip dengan Wayang Orang. Macapat adalah kesenian keliling yang sangat mentradisi. Ia begitu dikenal luas, karena lebih dekat dengan masyarakat.

Alunan gendang, Gong Saron dan Saronen,entah sejak kapan sudah mengibur dusun-dusun di pelosok Madura.

Hanya kali ini, ada sedikit penambahan. Ia menjadi sebuah pentas Teater. Mudah-mudahan saja, modifikasi atau apapun bentuknya tidak mengubah keaslian kesenian ini. Kebudayaan Madura aslinya memang tidak melibatkan wanita dalam seni peran. Sehingga biasanya laki-laki yang menggantikannya.

Tande Nyokle adalah tarian dari Bangkalan. Peran dimainkan oleh lelaki. Masyarakat Bangkalan menyebutnya Salbadi atau Sandur. Tarian ini biasa dipentaskan dalam berbagai acara maupun ritual. Ini adalah Eblas.

Tarian milik masyarakat sampang ini memperlihatkan keseharian gadis remaja yang bertingkah laku gesit. Salah satunnya Uldaul, yakni kesenian tradisional yang mengambarkan keseharian wanita Madura dimana salah satunya mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari.

Acara ini memang sedikit banyak bisa memperlihatkan kembali kesenian dan budaya Madura yang selama kurang begitu menonjol. Bahkan sebagian sudah terancam punah. Bila kebudayaan itu, ingin kita persempit menjadi sebuah kesenian, barangkali sulit mencatatnya berapa jumlah kesenian tradisional yang masih hidup dan bertahan.

Kesenian dan budaya Madura ya... Ibarat noktah kecil ditengah ribuan kebudayaan nasional. Namun ia unik dan khas. Sayang bila harus punah..... Tugas kita untuk melestarikannya, atau waktu yang menentukan.(Irianto Mahani/Dv/rev)

Tidak ada komentar: