Kamis, 07 Agustus 2008

Sejarah Politik Indonesia

BAB PERTAMA
Latar Belakang Sejarah

Pada Bulan Oktober 1965 kaum buruh internasional mengalami salah satu kekalahan yang terbesar dalam period setelah Perang Dunia Kedua.
Sebanyak satu juta buruh dan petani dibantai dalam kudeta militer yang diatur oleh CIA dan dipimpin oleh Jenderal Suharto. Kudeta militer ini dilakukan untuk menyingkirkan rejim burjuis Sukarno yang sedang goyah, menindas pergerakan massa di Indonesia dan mendirikan rejim militer yang brutal.
Mantan-mantan diplomat Amerika Serikat and pejabat CIA, termasuk bekas duta besar AS untuk Indonesia dan Australia, Marshall Green, tahun ini telah mengakui bekerja sama dengan tukang-tukang jagal Suharto dalam pembunuhan ratusan ribu buruh dan petani yang dicurigai sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Mereka memberikan secara perorangan nama-nama dari ribuan anggota PKI dari arsip-arsip CIA, untuk daftar-daftar bantaian angkatan bersenjata.
Menurut Howard Federspeil, seorang ahli soal Indonesia yang sedang bekerja untuk Departemen Luar Negeri AS pada waktu kampanye anti-komunis itu: "Tak seorang pun perduli, asal saja mereka itu komunis, kalau mereka dijagal."
Kudeta itu merupakan hasil dari sebuah operasi panjang CIA, dengan bantuan agen-agen Dinas Intelijen Rahasia Australia (ASIS), untuk melatih dan membangun angkatan bersenjata Indonesia dalam persiapan untuk sebuah rejim militer yang akan menindas aspirasi revolusioner rakyat Indonesia.

Pada waktu kudeta militer itu, PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Cina dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3.5 juta; ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3.5 juta anggota dan pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita, organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Selama perjuangan kemerdekaan melawan Belanda di tahun empatpuluhan dan sepanjang tahun limapuluhan dan enampuluhan ratusan ribu orang buruh yang sadar akan kelasnya menjadi anggota PKI, mengira PKI masih mewakili tradisi-tradisi sosialis revolusioner Revolusi Bolshevik 1917.

Namun pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Pembunuhan-pembunuhan itu sangatlah tersebar-luas, sampai sungai-sungai menjadi penuh dengan mayat-mayat para pekerja dan petani. Sewaktu regu-regu pembantai militer yang didukung CIA mencakupi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Bagaimanakah kekalahan bersejarah ini dapat terjadi? Jawabannya memerlukan sebuah penelitian dari sejarah pergerakan rakyat Indonesia, pengkhianatan oleh kelas burjuis nasional yang dipimpin oleh Sukarno, peranan kontra-revolusioner PKI dan peranan penting yang dimainkan oleh para oportunis Pablois dari "Sekretariat Tergabung" (United Secretariat)-nya Ernest Mandel dan Joseph Hansen dalam membantu pengkhianatan para Stalinis.

'Permata Asia'

Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia'itu.
Pentingnya Indonesia bagi imperialisme AS ditegaskan oleh presiden AS Eisenhower di tahun 1953, waktu ia mengatakan kepada konperensi gubernur negara-negara bagian bahwa pembiayaan oleh AS untuk perang kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.

Eisenhower menerangkan:"Sekarang marilah kita anggap kita kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan tungsten yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India akan terkepung.
"Birma tidak akan berada di posisi yang dapat dipertahankan. Semua posisi di sekitar sana akan menjadi sangat tak menyenangkan buat Amerika Serikat, karena pada akhirnya jika kita kehilangan semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan kerajaan Indonesia yang kaya?

"Jadi, entah dimana, ini harus diberhentikan dan harus diberhentikan sekarang, dan inilah yang kita usahakan.

"Jadi, bila AS memutuskan untuk menyumbang 400 juta dolar untuk membantu perang di Indocina, kita bukannya menyuarakan program bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan, kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia Tenggara."

Indonesia telah diperkirakan sebagai negara terkaya nomor lima di dunia di bidang sumber-sumber alam. Selain sebagai produser minyak yang nomor lima terbesar, Indonesia mempunyai cadangan-cadangan timah, bauksit, batubara, emas, perak, berlian, mangan, fosfat, nikel, tembaga, karet, kopi, minyak kelapa sawit, tembakau, gula, kelapa, rempah-rempah, kayu dan kina yang sangat besar.

Pada tahun 1939, yang pada waktu itu masih dipanggil East Indies Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah yang penting bagi Amerika Serikat. Kekuasaan atas daerah penting ini merupakan masalah penting dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dalam masa setelah perang kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.
Setelah kekalahan Perancis di Vietnam di tahun 1954, AS menjadi khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol mereka atas Indonesia.

Di tahun 1965, sebelum kudeta di Indonesia, Richard Nixon, yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman saturasi untuk melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelah itu, dia menyatakan bahwa Indonesia merupakan "hadiah terbesar Asia Tenggara".
Setelah kudeta 1965, kegunaan diktatur Suharto untuk kepentingan imperialisme AS telah tergarisbawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres di tahun 1975, yang menyebut Indonesia sebagai "lokasi yang paling berwenang secara strategis di dunia":

* "Mempunyai populasi yang terbesar di seluruh Asia Tenggara.
* "Merupakan penyuplai utama bahan-bahan mentah di daerah itu.
* "Kemakmuran ekonomi Jepang yang terus berkembang, sangatlah tergantung pada minyak bumi dan bahan-bahan mentah lain yang dipasok oleh Indonesia.
* "Investasi Amerika yang sudah ada di Indonesia sangatlah kokoh dan hubungan dagang kita sedang berkembang cepat.
* "Indonesia mungkin secara meningkat akan menjadi penyedia yang penting untuk keperluan energi AS.
* "Indonesia adalah anggota OPEC, tetapi itu mengambil sikap yang moderat dalam langkah-langkahnya, dan tidak ikut serta dalam embargo minyak bumi.
* "Kepulauan Indonesia terletak pada jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang vital dalam perundingan-perundingan hukum kelautan, yang sangatlah penting untuk keamanan dan kepentingan komersiil kita."

Perampasan Kolonial Selama Berabad-Abad

Kolonial Belanda menjajah Indonesia tanpa ampun selama 350 tahun, merampok kekayaan alamnya, membuka perkebunan-perkebunan besar dan memeras rakyatnya secara kejam.
Pada tahun 1940 hanya ada satu dokter untuk setiap 60,000 orang (dibandingkan dengan India, di mana rasionya adalah 1:6,000) dan 2,400 lulusan Sekolah Menengah Atas. Pada akhir Perang Dunia Kedua, 93 persen dari populasi Indonesia masih buta-huruf.

Pada permulaan abad Kesembilan Belas, perkembangan kaum burjuis Inggris makin menantang dominasi Belanda atas daerah ini. Di tahun 1800 East Indies Company milik Belanda menjadi bangkrut dan Inggris mengambil-alih daerah kekuasaannya antara tahun 1811 dan 1816. Di tahun 1824, Treaty of London (Perjanjian London) membagi daerah ini antara keduanya: Inggris mendapat kontrol atas tanjung Malaka dan Belanda tetap menguasai kepulauan Indonesia.
Permulaan abad Keduapuluh, imperialisme Amerika yang baru sedang berkembang mulai menjadi tantangan untuk kekuatan kolonial Eropa, terutama setelah pendudukan Filipina oleh Amerika Serikat di tahun 1898.

Amerika Serikat sedang terlibat dalam perang dagang dengan Belanda atas minyak bumi dan karet. Perusahaan minyak Standard mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak di Indonesia oleh Royal Dutch company. Di tahun 1907, Royal Dutch dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai mengebor minyak di Jawa Tengah, dan dalam tahun yang sama perusahaan-perusahaan AS mulai menguasai perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre and Rubber membuka perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber membuka perkebunan-perkebunan karet di bawah satu pemilikan yang terbesar di dunia.

Strategi AS di daerah ini sewaktu itu dapat diringkas oleh Senator William Beveridge:

"Filipina adalah milik kita selamanya...dan lewat Filipina adalah pasaran Cina yang tak terbatas. Kita tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan, untuk perdaban di dunia ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina, kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik Amerika."

Berkembangnya imperialisme Jepang dan ekspansinya ke Korea, Manchuria dan Cina menimbulkan pertentangan dengan imperialisme Amerika atas penguasaan daerah-daerah itu, yang meningkat dan meletus dalam Perang Pasifik dalam Perang Dunia Kedua. Keinginan kaum burjuis Jepang untuk merebut kekuasaan AS, Perancis dan Belanda membawa pentingnya Indonesia, sebagai gerbang ke Laut India dari Asia Tenggara dan sumber kekayaan alam, ke dalam fokus.

Di tahun 1942 para kolonialis Belanda menyerahkan kekuasaan atas Indonesia ke Jepang, daripada membiarkan rakyat Indonesia berjuang untuk kemerdekaan. Semua kekuatan imperialis mempunyai alasan baik untuk menakuti rakyat Indonesia yang tertindas.
Sejauh tahun 1914 wakil-wakil terbaik dari kelas buruh Indonesia telah mengambil ajaran Marxisme ketika Assosiasi Sosial Demokrat Indies (Indies Social Democratic Association) dibentuk dengan inisiatip seorang komunis Belanda Hendrik Sneevliet. Di tahun 1921 itu berubah menjadi Partai Komunis Indonesia sebagai tanggapan kepada Revolusi Bolshevik di Rusia.

PKI mendapatkan kewenangan besar di antara rakyat dengan memimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda, termasuk pergerakan-pergerakan besar yang pertama di Jawa dan Sumatra di tahun 1926 dan 1927.
Ketika rakyat Cina sedang bergerak dalam Revolusi Cina yang kedua di tahun 1926-27, para pekerja dan petani Indonesia juga bergerak dalam sebuah pemberontakan, yang dipimpin PKI. Bagaimanapun juga, kewenangan kolonial Belanda berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan itu. Mereka menangkap 13,000 orang tertuduh, memenjarakan 4,500 dan mengasingkan 1,308 ke dalam kamp konsentrasi di Irian Barat. PKI dilarang.

Perjuangan Pembebasan Nasional Dikhianati

Pada akhir Perang Dunia Kedua rakyat-rakyat tertindas di Indonesia, India, Sri Lanka, Cina dan di seluruh Asia Tenggara dan dunia maju bergerak dalam perjuangan-perjuangan revolusioner untuk membebaskan diri dari imperialisme.
Pada saat yang sama, kelas buruh di Eropa dan negara-negara kapitalis mengadakan perjuangan-perjuangan yang menggoncangkan. Itu hanya dapat dipadamkan melalui perkhianatan birokrasi Sovyet yang dipimpin oleh Stalin dan partai-partai Stalinis di seluruh dunia. Pengkhianatan pekerja-pekerja Perancis, Itali dan Yunani yang terutama, dan pendirian rejim-rejim yang dikendalikan secara birokratis di Eropa Timur memperbolehkan imperialisme untuk memantapkan diri.

Di tahun 1930an, munculnya sebuah kasta berhak istimewa dalam Uni-Sovyet, yang mengambil kekuasaan politis dari kaum proletar Sovyet, telah menghancurkan partai-partai Komunis. Dari partai-partai Internasional revolusioner, mereka berubah menjadi organisasi-organisasi kontra-revolusioner, yang menekan perjuangan-perjuangan mandiri kelas buruh.
Di negara-negara kolonial, partai-partai Stalinis ini, termasuk PKI, secara sistematis mengebawahkan kepentingan rakyat ke kelas burjuis-nasional yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi di India dan Sukarno di Indonesia yang berusaha mencari penyelesaian dengan kekuatan-kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis.

Perjanjian-perjanjian setelah Perang Dunia Kedua tidak menghasilkan pembebasan nasional yang sejati dari imperialisme, tetapi membebankan kepada rakyat agen-agen baru kekuasaan imperialis. Ini adalah kasusnya di Indonesia di mana kelas burjuis nasional, dipimpin Sukarno, mengadakan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan Belanda.
Sukarno, putra seorang guru sekolah Jawa yang berasal dari keluarga aristokratis, adalah lulusan arsitek, bagian dari lapisan sosial tipis kaum petit-burjuis yang berpendidikan. Dia adalah ketua Partai Nasional Indonesia saat itu dibentuk di tahun 1927 dan mengalami penjara dan pengasingan di tangan Belanda karena dia mengajarkan kemerdekaan nasional.

Dalam Perang Dunia Kedua Sukarno dan kelas burjuis nasional bekerja sama dengan pasukan pendudukan Jepang dengan harapan mendapatkan semacam kemerdekaan nasional. Dalam hari-hari terakhir perang itu Sukarno, dengan dukungan separuh-hati Jepang, mendeklarasikan Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Arahan pemimpin-pemimpin kelas burjuis nasional ini bukanlah untuk memimpin sebuah gerakan proletar melawan imperialisme, tetapi untuk mendirikan sebuah administrasi dan memperkuat posisi mereka dalam tawar-menawar dengan Belanda, yang tidak mempunyai tentara di daerah itu.

Tetapi reaksi Belanda adalah mengadakan perang yang kejam untuk menekan rejim yang baru ini. Mereka memerintahkan Indonesia untuk tetap di bawah perintah tentara Jepang sampai tentara Inggris dapat mencapai sana. Inggris dan Jepang kemudian menggunakan tentara-tentara Jepang untuk menekan perjuangan bertekad para pekerja, pemuda dan petani Indonesia. Dengan begitu, semua kekuatan-kekuatan imperialis bergabung melawan rakyat Indonesia.
Ketika perlawanan bersenjata meletus di seluruh Indonesia terhadap tentara Belanda, Sukarno, dengan dukungan dari kepemimpinan PKI, menjalankan sebuah politik kompromi dengan Belanda dan menandatangani Perjanjian Linggarjati di bulan Maret 1947. Belanda mengenali secara formal kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra dan setuju untuk mengundurkan tentara mereka. Tetapi kenyataannya, Belanda hanya menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengambil napas dan memperkuat dan mempersiapkan diri untuk sebuah serangan yang kebrutalannya tak tertandingi di bulan Juli dan Agustus 1947.

Selama waktu ini, ratusan ribu buruh dan petani menjadi anggota atau mendukung PKI karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin burjuis dan karena mereka memandang PKI sebagai partai revolusioner. Mereka juga terilhami oleh kemajuan-kemajuan Partai Komunis Cina Mao Tse Tung dalam perangnya melawan Chiang Kai-Shek. Dalam perang melawan Belanda, buruh dan petani menduduki tanah dan bangunan-bangunan berulang-ulang dan serikat-serikat buruh massa dibentuk.

Untuk menanggulangi perkembangan ini, pemerintahan Republik Sukarno, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang saat itu masih Perdana Menteri (juga seorang anggota PKI rahasia), menandatangani Perjanjian Renville di bulan Januari 1948 (dipanggil itu karena ditandatangani di atas USS Renville). Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 percent dari karet Indonesia, 65percent perkebunan kopi, 95 percent perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang diimposisi oleh AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran "unit-unit rakyat bersenjata" yang dipimpin oleh PKI, dan untuk pembentukan "Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia" yang dipimpin oleh Sukarno dan jendral-jendralnya.

Di tahun 1948 aksi-aksi pemogokan menentang pemerintah Republik, yang sekarang dipimpin oleh Wakil Presiden sayap-kanan Hatta sebagai Perdana Menteri, dan menuntut sebuah pemerintahan berparlemen. Aksi-aksi ini dipadamkan oleh Sukarno yang mengimbau untuk penciptaan "kesatuan nasional".
Pada saat yang sama, pemimpin PKI Musso yang sebelumnya diasingkan, kembali dari Uni-Sovyet dan beberapa pemimpin-pemimpin penting Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh Indonesia menyatakan bahwa mereka adalah anggota-anggota rahasia PKI selama bertahun-tahun. Pernyataan ini menunjukkan basis dukungan untuk PKI yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya diperkirakan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.

Di bulan Juli 1948 pemimpin-pemimpin burjuis, termasuk Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan rahasia dengan wakil-wakil AS di Sarangan di mana AS menuntut, sebagai bayaran bantuan ke pemerintah, pengadaan pemburuan anggota-anggota PKI dalam angkatan bersenjata dan pegawai-pegawai pemerintah. Hatta, yang juga masih Menteri Pertahanan, diberi $10 juta untuk melakukan "pemburuan merah"
Dua bulan setelah itu, dalam sebuah percobaan untuk menghancurkan PKI, Peristiwa Madiun dilakukan di Jawa. Beberapa perwira angkatan bersenjata, anggota-anggota PKI, dibunuh dan yang lainnya menghilang, setelah mereka menentang rencana-rencana untuk membubarkan kesatuan-kesatuan gerilya angkatan bersenjata yang berada di garis depan perang melawan Belanda.

Pembunuhan-pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan di Madiun yang ditekan secara berdarah oleh rejim Sukarno. Perdana Menteri Hatta menyatakan hukum darurat. Ribuan anggota PKI dibunuh, 36,000 dipenjara dan pemimpin PKI Musso dan 11 pemimpin penting yang lainnya dihukum mati.
Konsul-Jendral AS Livergood menelegram atasannya di AS mengatakan bahwa dia telah memberitahu Hatta bahwa "krisis ini memberikan pemerintahan Republik kesempatan untuk menunjukkan tekadnya untuk menekan komunisme."

Terbesarkan hatinya karena pogrom anti-komunis itu, Belanda menjalankan serangan militer baru di Desember 1948, menangkap Sukarno. Tetapi perlawanan yang meluas memaksa Belanda untuk menyerah dalam waktu enam bulan.
Meskipun begitu, konperensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag membebankan pengkhianatan-pengkhianatan baru atas rakyat Indonesia, melibatkan konsesi-konsesi yang lebih besar dari kelas burjuis Indonesia.

Pemerintah Sukarno setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan imperialis Belanda dalam Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan dibalik aling-aling pemerintahan parlemen di republik yang baru.

Kepemimpinan PKI mendukung pengkhianatan perjuangan pembebasan nasional itu dan berusaha untuk membatasi kelas buruh dan petani ke dalam perjuangan-perjuangan yang damai dan "demokratis". Ini adalah terusan dari posisi PKI selama Perang Dunia Kedua ketika kepemimpinan PKI (dengan Partai Komunis Belanda) mengikuti arahan Stalin untuk bekerja sama dengan imperialis Belanda melawan Jepang dan menyerukan untuk sebuah "Indonesia merdeka dalam Persemakmuran Belanda". Ini tetap menjadi politik PKI meskipun selama perjuangan setelah Perang Dunia Kedua melawan Belanda.

Untuk rakyat Indonesia, kepalsuan "kemerdekaan" di bawah dominasi imperialisme Belanda, Amerika dan dunia yang berlangsung makin menjadi jelas. Hasil-hasil alam, industri-industri penting, perkebunan-perkebunan dan kekuatan keuangan tetap dipegang oleh perusahaan-perusahaan asing.
Contohnya, 70 percent lalu-lintas laut antar kepulauan masih dipegang oleh perusahaan Belanda KPM dan salah satu bank Belanda terbesar, Nederlandche Handel Maatschappij, memegang 70 percent dari semua transaksi keuangan Indonesia.

Menurut perhitungan pemerintah Indonesia, di pertengahan tahun 1950an, modal Belanda di Indonesia berharga sekitar $US 1 milyar. Pemerintah Sukarno mengatakan bahwa meskipun jika mereka ingin menasionalisasikan kemilikan Belanda, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk menggantikan kerugian bekas penguasa-penguasa kolonial itu. Dan untuk menasionalisasikan tanpa ganti-rugi adalah komunisme.
Ketidakpercayaan rakyat tercermin di pemilihan umum 1955 ketika jumlah kursi yang dipegang PKI meningkat dari 17 ke 39.
Dalam waktu dua tahun pergerakan rakyat akan meletus dalam penyitaan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank. pembunuhan massal itubiarlah jadi sejarah buruk bangsa kita, dan diingat untuk tidak diulangi lagi, ke depan sbg bangsa indonesia harus terus bersatu dan melawan musuh yg nyata yaitu kemiskinan, korupsi, dan belenggu neoliberalisme.

BAB KEDUA
Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa

Pada bulan Desember 1957 dominasi imperialisme atas ekonomi Indonesia tergoncang oleh pergerakan massa kaum buruh dan petani. Pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut banyak yang dirampas dan diduduki.
Rejim burjuis Sukarno bisa bertahan hanya karena pemimpin-pemimpin Stalinis Partai Komunis Indonesia (PKI) menyabot pergerakan massa itu, dengan menegaskan bahwa para buruh dan petani harus menyerahkan semua yang sudah mereka sita kepada pasukan-pasukan angkatan bersenjata yang dikirim oleh Sukarno, dengan dukungan AS, untuk mengontrol situasi itu.

Kabar di New York Times tanggal 8 Desember 1957 memberi gambaran tentang keluasan dan kekuatan pergerakan itu: "Pergerakan pekerja-pekerja di Jakarta, sejauh kita dapat menentukan, terjadi tanpa ijin pemerintah, dan berlawanan dengan kata-kata Perdana Menteri Djuanda, Kepala angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution dan pejabat-pejabat pemerintah yang lainnya, yang mengatakan bahwa pergerakan itu tidak dapat diterima dan orang-orang yang terlibat akan dihukum berat...

"Ketiga bank milik Belanda di sini, the Netherlands Trading Society, the Escompto dan the Netherlands Commercial Bank, diambil-alih oleh delegasi-delegasi pergerakan itu. Mereka membacakan proklamasi di depan kawan-kawan seperjuangan yang penuh semangat dan kemudian di depan para administrator-administrator dari Belanda, mengatakan bahwa atas nama Asosiasi Pekerja Indonesia mereka merampas bank-bank ini dan mulai saat itu akan menjadi milik Republik Indonesia."

Surat kabar Belanda "Volksrant" mengabarkan dengan nada khawatir pada tanggal 11 Desember 1957:"Di Jakarta para Komunis terus mengibarkan bendera-bendera merah di atas perusahaan-perusahaan milik Belanda...Hari ini kantor pusat Philips dan Societe D'Assurances Nillmij di Jakarta diduduki oleh orang-orang Indonesia di bawah pimpinan perserikatan buruh Komunis."

Pergerakan ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Menurut "New York Herald-Tribune" tanggal 16 Desember:"Pekerja-pekerja di bawah SOBSI, perserikatan buruh sentral yang didominasi oleh para Komunis, merampas toko-toko roti Belanda dan bank-bank di Borneo (Kalimantan)." Koran "New York Times" pada hari yang sama mengabarkan bahwa di Palembang, ibukota Sumatra Selatan, "pasukan-pasukan keamanan menahan sejumlah pekerja, anggota serikat buruh yang dikontrol oleh para Komunis, karena mereka bertindak tanpa ijin menyita tiga perusahaan Belanda. Tigapuluh tujuh bendera merah yang mereka naikkan di depan rumah-rumah pegawai-pegawai Belanda perusahaan-perusahaan tersebut telah disita."

Surat-surat kabar kapitalis yang lain mengabarkan "situasi anarki di Bali" dan menurut pemilik perkebunan Belanda yang sedang melarikan diri, di Aceh dan Deli, di pantai selatan Sumatra, pergerakan rakyat bukan hanya ditujukan ke perusahaan-perusahaan Belanda, tetapi juga ke perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika. Kabar-kabar serupa juga datang dari Sumatra Utara, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.

Ada juga kabar-kabar bahwa pergerakan-pergerakan ini menimbulkan perlawanan di Papua New Guinea (Irian Timur) yang diduduki oleh Australia. Di Karema, duapuluh orang terluka ketika orang-orang pribumi melawan anggota-anggota pasukan keamanan setelah seorang jururawat pribumi mengatakan bahwa dia merasa dihina.

Pemberontakan di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap panggilan dari Sukarno untuk mengadakan pemogokan umum terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Sebelum itu ia juga berbicara tentang penasionalisasian perusahaan-perusahaan milik Belanda pada sebuah pidato umum. Tujuan Sukarno adalah untuk menggunakan ancaman penasionalisasian sebagai cara untuk menekan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat, yang tetap dibawah Belanda setelah Konperensi Meja Bundar di tahun 1949, supaya Indonesia dapat mengambil-alihnya.

Dalam usahanya untuk mengimbangkan keserakahan imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris; ketidakpuasan massa yang tertindas dan berkembangnya kekuatan militer dengan dukungan Amerika - yang makin lama makin menjadi andalan rejimnya, Sukarno berusaha menggunakan tekanan dari rakyat untuk menekan imperialisme Belanda.

Para buruh mulai merampas dan menduduki perusahaan-perusahaan Belanda tanpa suruhan. Sukarno sama sekali tidak mengharapkan tanggapan seperti ini. Ia langsung memberi anggota-anggota militernya ijin untuk mengambil-alih perusahaan-perusahaan itu dari para buruh.

Biro Politik PKI bergegas membantu Sukarno dengan mengeluarkan resolusi untuk mengimbau rakyat untuk memecahkan secepatnya dengan perundingan perbedaan pendapat tentang cara-cara perjuangan melawan imperialisme Belanda, dengan demikian persatuan rakyat, antara rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata dapat diperkuat."

Bersamaan dengan itu, PKI mengimbau para pekerja "jangan hanya menjalankan perusahaan-perusahaan yang diduduki, tetapi buat mereka bekerja lebih displin dan lebih baik dalam meningkatkan produksi.

"Pemerintah harus mengambil keputusan yang mampu dan patriotis untuk perusahaan-perusahaan ini, dan para pekerja harus menunjang keputusan ini dengan seluruh kekuatan mereka."

Tambahan pula, PKI menegaskan bahwa pengambil-alihan itu hanya berlaku terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, mencoba menentramkan hati imperialisme AS dan Inggris dengan mengatakan bahwa kepentingan mereka tidak akan terganggu:"Semua pergerakan-pergerakan buruh, petani dan organisasi-organisasi pemuda ditujukan ke kapitalis-kapitalis Belanda. Negara-negara kapitalis yang lainnya tidak bersikap bermusuhan dalam perang antara Belanda dan Indonesia di Irian Barat. Karena itu, tidak ada aksi terhadap perusahaan kapitalis-kapitalis dari negara lain."

Mengenali usaha-usaha PKI untuk mematahkan pergerakan massa, Tillman Durdin menulis di "New York Times" tanggal 16 Desember:"Anggota-anggota Badan Penasehat National yang berorientasi Komunis diketahui telah menentang dengan tegas penyitaan-penyitaan yang dilakukan oleh para pekerja dan mengatakan bahwa pergerakan-pergerakan itu adalah 'anarko-sindikalisme' tak berdisiplin. Para Komunis membela program penyitaan yang dilangsungkan oleh pemerintah seperti sekarang ini.

Sukarno sendiri telah bersiap-siap meninggalkan negara untuk sebuah "liburan" di India, tetapi penyerahan perusahaan-perusahaan Belanda kepada pihak militer di bawah instruksi PKI telah menyelamatkan rejim burjuis Sukarno. Para pemimpin Stalinis dalam PKI tidak hanya menyelamatkan pemerintah Sukarno, mereka menimbulkan kondisi yang mengijinkan jendral-jendral militer dan penyokong mereka di AS untuk mempersiapkan kontra-revolusi berdarah mereka delapan tahun setelah itu.

Perspektif para pemimpin PKI adalah teori Stalinis "revolusi dua tahap" _ yang mengatakan bahwa perjuangan untuk sosialisme di Indonesia harus pertama melalui tahap apa yang dinamakan kapitalisme "demokratis". Perjuangan revolusi massa untuk memperlakukan langkah-langkah sosialis harus ditekan dan kepentingannya dikebawahkan ke sebuah "persatuan" dengan kelas burjuis nasional.

Sejalan dengan perspektif reaksioner ini, birokrasi-birokrasi Stalinis di Uni-Sovyet dan Cina mengelu-elukan Sukarno dan rejimnya di dalam period ini. Sebagai contoh, Kruschev mengunjungi Jakarta dan berkata bahwa ia akan memberi Sukarno semua bantuan dalam "segala kemungkinan". Kenyataannya, sebagian besar senjata-senjata yang digunakan dalam pembunuhan massa dalam kudeta 1965 adalah disediakan oleh Kremlin.

Permulaan Persiapan Militer

Di tahun 1956 tentara Indonesia, dengan sokongan Amerika, sudah memulai persiapan-persiapan untuk diktatur militer untuk menekan pergerakan rakyat. Di bulan Agustus Komandan militer daerah Jawa Barat memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani atas tuduhan-tuduhan korupsi. Di bulan November, Wakil Kepala angkatan bersenjata Kolonel Zulkifli Lubis, mencoba dengan kegagalan untuk menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintahan Sukarno. Bulan berikutnya, ada kudeta militer di daerah Sumatra Tengah dan Utara.

Pada bulan Oktober 1956 Sukarno memperkuat kedudukannya terhadap rakyat dan menenangkan angkatan bersenjata dengan mengimbau partai-partai politik untuk membubarkan diri. Imbauan ini setelah itu diperluas dengan usaha untuk mendirikan Dewan Nasional yang mencakup semua partai, termasuk PKI, untuk mengatur negara. Bilamana para kepala daerah militer menolak rencana ini, dan mengambil-alih kekuasaan provinsi-provinsi mereka, Sukarno mengumumkan keadaan darurat. Akhirnya, kabinet "non-partai" yang baru dibentuk, termasuk dua pengikut PKI.

Sebagai reaksi terhadap pergerakan massa di Desember 1957 itu, operasi imperialisme Amerika segera ditingkatkan. CIA sudah aktif sejak tahun 1940-an, mengeluarkan jutaan dollar untuk menyubsidi elemen-elemen pro-Amerika di dalam kelas burjuis nasional, terutama Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sumiro, kolega Hatta, dan sekutu islamnya yang lebih besar, Partai Masyumi yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara, dengan siapa Hatta juga mempunyai hubungan dekat.

Sepanjang tahun 1957 dan 1958 serangkaian pemberontakan sesesesionis dan sayap-kanan yang dibantu oleh CIA meletus di pulau Sumatra dan Sulawesi yang kaya minyak bumi, di mana PSI dan Masyumi mempunyai pengaruh dominan.

Yang pertama adalah pemberontakan militer Permesta yang mulai di bulan Maret 1957 dan berlangsung sampai ke tahun 1958, yang berakhir dengan percobaan kudeta yang didukung oleh CIA di bulan February 1958.

Pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan keuangan yang cukup besar, penasehat-penasehat militer, senjata dan angkatan udara kecil yang terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-26, dipiloti dari basis-basis di Taiwan dan Filipina. Menteri Luar Negeri AS bahkan memberikan dukungan secara terbuka untuk pemberontak-pemberontak sayap-kanan ini. Kapal induk dari armada ketujuh Amerika dikirim ke Singapor dan sewaktu itu kelihatannya Amerika bakal campur-tangan secara langsung di Sumatra dengan alasan melindungi pegawai-pegawai dan pemilikan-pemilikan Caltex Oil.

Komando militer Indonesia akhirnya memutuskan bahwa pemberontakan itu, gagal mendapatkan dukungan massa, harus dihentikan. Pemerintahan Sukarno selamat.

Tetapi, angkatan bersenjata menjadi lebih kuat. Selama enam tahun berikutnya, AS menuangkan uang untuk itu, meletakkan fondasi yang mengijinkan Suharto untuk mulai menempuh jalan ke kekuasaaan setelah memimpin operasi militer untuk mengambil-alih Irian Jaya di tahun 1962.

Antara tahun 1959 dan tahun 1965 Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam rupa bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di Suara Pemuda Indonesia:"Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalion angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap-kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".

Pada waktu yang sama, Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin"-nya. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.

PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, Islam dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

Dalam mengejar front nasional mereka bersama dengan Sukarno dan kelas burjuis nasional, para pemimpin PKI menimbulkan ilusi-ilusi yang sangat berbahaya tentang angkatan bersenjata.

Hanya lima tahun sebelum kekalahan berdarah itu terjadi kepada para pekerja dan petani di tangan angkatan bersenjata, arahan politis PKI dinyatakan oleh kepemimpinan SOBSI, federasi serikat pekerja yang dipimpin oleh PKI, dalam sebuah pernyataan di Hari Buruh Internasional bulan Mei 1960:

"SOBSI menegakkan bahwa angkatan bersenjata Republik masih merupakan anak dari revolusi rakyat...dan dengan itu dari para perwira sampai ke bawahan mereka dan ke tentara-tentara...mereka tidak akan terlibat dengan aksi-aksi yang mengkhianati Republik. Selain itu, presiden Sukarno, yang memihak rakyat, mempunyai pengaruh besar atas pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata dan ia tidak berkehendak menjadi diktator militer."

Pergerakan Baru

Di tahun 1962, perebutan militer Irian Barat oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan perlawanan penduduk Irian Jaya terhadap pendudukan itu.

Di Indonesia sendiri, ketegangan ekonomi dan kelas yang mendasar, yang diakibatkan oleh berlanjutnya pemerasan rakyat oleh perusahaan-perusahaan imperialis dan kelas burjuis nasional, muncul kembali.

Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Dari tahun 1963 terus, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI D N Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi".

Pada bulan April 1964, dalam interview dengan S M Ali dari "Far Eastern Economic Review" Aidit menetapkan untuk kaum burjuis nasional perspektif Stalinis untuk perubahan yang damai dan berangsur-angsur ke arah sosialisme yang terdiri dari "dua tahap" di Indonesia.

"Bila kita sudah mencapai tahap pertama dari revolusi kita, yang sedang berlangsung sekarang, kita akan bisa mengadakan konsultasi yang damai dengan elemen-elemen progresif lain di masyarakat kita dan tanpa perjuangan bersenjata kita akan membawa negara kita ke revolusi sosialis."

Dia memberikan sebuah senario di mana rakyat akan terbatas dalam fungsi mempengaruhi kaum burjuis nasional:"Pengaruh dari tahap sekarang dari revolusi ini akan menetapkan pengaruh revolusioner atas kapitalis-kapitalis nasional Indonesia.

"Tidak akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada intervensi asing memihak para kapitalis. Dan bila kita berhasil menyelesaikan tahap ini dalam revolusi demokratik nasional kita, kemungkinan satu kekuatan asing bercampur-tangan dalam urusan nasional Indonesia akan menjadi sangat kecil."

Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.

Dalam sebuah pertemuan Komite Sentral PKI Aidit mendorong penindasan pergerakan para petani itu dan mencela kader partai yang "terbawa oleh semangat untuk menyebar-luaskan pergerakan petani dan menjadi tidak sabar dan melakukan tindakan heroisme individual, tidak berpikir untuk mengembangkan kesadaran para petani dan menginginkan suatu kejadian yang tertentu, tidak berhati-hati dalam memisahkan dan memilih target-target mereka."

Para pemimpin PKI menghalalkan pemberhentian perampasan tanah dan pengembalian ke pemilik-pemiliknya dengan menunjuk kepada "kemungkinan yang akan datang untuk pembentukan "kabinet NASAKOM".

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para tukang jagal militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Dengan cara ini, para Stalinis dalam PKI melucuti para pekerja dalam PKI yang paling sadar akan kelasnya. Pengertian dasar Marxis tentang negara sebagai "badan orang-orang bersenjata" yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menjaga kekuasaannya telah disangkal secara kriminal.

Aidit berusaha secepatnya untuk menenangkan kaum burjuis dan pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner massa. "Hal yang penting di Indonesia sekarang bukanlah meruntuhkan kekuatan negara seperti halnya di negeri-negeri lain, tetapi memperkuat dan mendalamkan aspek pro-rakyat...dan menyingkirkan aspek anti-rakyat".

Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama sebelum kudeta terjadi, PKI, mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.

Mereka bahkan menyembah di depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan mereka bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Sampai akhir, kepemimpinan PKI berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia.

Meskipun di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang dirubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara:

"Kekuatan dari aspek-aspek pro-rakyat (dalam aparatus negara) sudah bertambah kuat dan mempunyai inisiatif dan ofensif, dan aspek anti-rakyat, walaupun masih cukup kuat, sedang terpojok. PKI berjuang supaya aspek pro-rakyat akan menjadi bertambah kuat dan akan berkuasa dan aspek anti-rakyat akan dikeluarkan dari kekuasaan negara."

Kaum buruh Indonesia dan seluruh dunia membayar mahal untuk pengkhianatan Stalinis ini waktu Suharto dan jendral-jendral militer bergerak pada tanggal 30 September 1965.

BAB KETIGA
1965-Warisan Berdarah Stalinisme

Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.

Selama tahun 1965 perselisihan-perselisihan antara kelas meningkat. Tahun itu mulai dengan para petani merampas pemilikan para tuan tanah besar dan pekerja-pekerja di perusahaan-perusahaan karet dan minyak bumi milik AS melakukan aksi pendudukan. Presiden Sukarno telah memasukkan jendral-jendral militer, yang dipimpin oleh Jendral Nasution, dan kepemimpinan PKI ke dalam kabinetnya untuk menekan pergerakan ini.

Kepemimpinan PKI berhasil menekan aksi-aksi pendudukan, tetapi pergerakan massa ini menjadi semakin sulit untuk dikendalikan. Kemarahan massa berkembang dengan dipenjaranya 23 petani, dengan hukuman antara 15 sampai 20 tahun, atas tuduhan memukuli seorang tentara sampai fatal dalam mempertahankan diri mereka terhadap operasi militer untuk menghentikan aksi-aksi perampasan tanah di Sumatra.

Pada malam 30 September 1965, sebuah provokasi yang didalangi CIA dilaksanakan. Sekelompok perwira menengah, yang paling sedikit satu mempunyai koneksi dekat dengan Suharto, menahan dan membunuh komandan angkatan bersenjata Letnan-Jendral Ahmad Yani dan lima jendral tingkat atas yang lain, dan menyatakan pembentukan sebuah Dewan Revolusioner.

Penculikkan jendral-jendral ini tidak mencakup dua orang penting. Yang pertama adalah Suharto, yang pada waktu itu adalah komandan Kostrad, yang terdiri dari tentara-tentara elit angkatan darat. Para pemberontak ini, yang dipimpin oleh Letnan-Kolonel Untung tidak berusaha sedikit pun untuk menangkap Suharto atau menyerang pusat komandonya di Jakarta walaupun ia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan hal ini. Menteri Pertahanan Jendral Nasution, juga tidak dicakup. Dia dikatakan sebagai calon korban pemberontakan ini, tetapi dapat menyelamatkan diri secara ajaib.

Pemberontakan oleh Untung ini adalah palsu. Dalam 24 jam Suharto dapat mengalahkan semua pemberontak ini, hampir tanpa ada peluru melayang, dan mengambil-alih kontrol di Jakarta, dengan dukungan dari Nasution.

Di akhir minggu itu, komando yang dibentuk oleh Suharto membersihkan semua kantong-kantong perlawanan, dan melaksanakan pembantaian anti-komunis terbesar di sejarah yang didalangi oleh Kedutaan AS dan CIA. Pentagon dan CIA, yang pada waktu itu sudah terlibat dalam perang rahasia di Vietnam, bertekad untuk menenggelamkan revolusi Indonesia dalam darah.

Diplomat-diplomat AS dan perwira-perwira CIA, dipimpin oleh Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, bekerja sama dengan tukang-tukang jagal Suharto untuk membasmi setiap anggota dan pendukung PKI yang diketahui.

Bencana yang Didalangi CIA

Dalam mempersiapkan kudeta ini, pejabat-pejabat AS sudah menghabiskan paling sedikit dua tahun untuk membuat daftar-daftar maut ini yang diberikan kepada angkatan bersenjata dengan instruksi yang jelas: bunuhlah semuanya. Anak-buah Suharto diperintahkan untuk melapor kembali setiap sejumlah pembunuhan telah dilaksanakan supaya nama-nama korban mereka dapat dicocokkan dengan nama-nama di daftar-daftar itu.

Beberapa perwira-perwira AS yang berikut-serta mengatakan baru-baru ini apa yang terjadi. "Itu adalah bantuan yang besar untuk angkatan bersenjata," kata seorang bekas pejabat bagian politik di Duta Besar AS di Jakarta, Robert Martens. "Mereka mungkin membunuh banyak orang dan saya mungkin punya darah di tangan saya, tetapi itu tidak semuanya jelek."

"Suatu waktu kamu harus memukul keras pada waktu yang tepat."

Martens memimpin pejabat-pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri di kedutaan besar AS, yang dari tahun 1962, menyusun keterangan mendetil tentang siapa saja yang duduk di dalam kepemimpinan PKI. Itu termasuk nama-nama anggota komite-komite PKI di tingkat provinsi, kota dan lokal; dan pemimpin-pemimpin perserikatan-perserikatan kerja yang didukung PKI, dan perserikatan-perserikatan wanita dan pemuda.

Operasi ini didalangi oleh bekas direktur CIA William Colby, yang pada waktu itu adalah direktur Divisi Asia Timur CIA, dan dengan itu menjadi bertanggung-jawab atas pengarahan strategi rahasia AS di Asia. Colby mengatakan bahwa mencari pengetahuan tentang kepemimpinan PKI menjadi latihan untuk program Phoenix di Vietnam, yang merupakan usaha untuk memusnahkan semua pendukung Front Kemerdekaan Nasional di akhir dekade 1960-an.

Colby mengakui bahwa mengecek nama-nama di daftar-daftar maut itu dianggap sangat penting sampai itu diawasi oleh direktorat intelijen CIA di Washington. "Kita berkesimpulan bahwa dengan perlakuan secara keji seperti itu, PKI telah mengalami kemunduran yang besar."

Wakil kepala pos CIA menggambarkan dengan rasa senang yang tak tersembunyi bagaimana markas Suharto di Jakarta memberikan kedutaan besar AS laporan secara berlanjut tentang pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. "Kita mendapatkan laporan yang jelas di Jakarta tentang siapa yang dicakup. Angkatan bersenjata mempunyai 'daftar penembakan' untuk sekitar 4,000 sampai 5,000 orang.

"Mereka tidak punya cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang masih berharga untuk diinterogasi. Rangka dasar organisasi mereka telah runtuh hampir seketika itu. Kita tahu apa yang mereka kerjakan. Kita tahu bahwa mereka akan menyelamatkan beberapa untuk pengadilan pura-pura mereka, tetapi Suharto dan penasehat-penasehatnya berkata bila kamu biarkan mereka hidup kamu harus memberi mereka makan."

Semua ini dijalankan dengan persetujuan Green yang setelah itu dilantik menjadi duta besar AS untuk Australia, di mana ia memainkan peranan penting dalam pembubaran pemerintah Whitlam di tahun 1975.

Paling sedikit satu juta orang dibantai dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Ini adalah perkiraan dari sebuah kelompok lulusan Universitas Indonesia yang diperintah oleh angkatan bersenjata itu sendiri untuk menyelidiki kesebar-luasan pembunuhan-pembunuhan ini.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Laporan lain mengatakan bahwa di Batu di Jawa Timur banyak sekali yang dibunuh di halaman kecil kantor polisi di sana sampai mayat-mayat itu dikubur di bawah semen.

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35,000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesianya Sukarno, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan anti-cina terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Baru-baru ini empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu, tanda jelas bahwa rejim Suharto masih menakuti kebangkitan kaum proletar Indonesia dan petani-petani yang miskin.

Pengkhianatan Stalinis mendalam

Ketika ratusan ribu anggota dan pendukung PKI sedang diburu dan dibinasakan, kepemimpinan PKI dan rekan-rekannya di Kremlin, Beijing dan Partai Komunis Australia (CPA) menganjurkan kader PKI, pekerja dan massa petani untuk tidak melawan, memberikan lampu hijau untuk jendral-jendral militer untuk melakukan eksekusi massa itu.

Para Stalinis mendalamkan posisi reaksioner mereka yang meminta rakyat untuk mengebawahkan kepentingan mereka untuk kaum burjuis nasional dan Sukarno, yang digunakan oleh Suharto sebagai presiden boneka dan untuk angkatan bersenjata.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune":

"Setelah mempelajari seruan ke Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia, dari pemimpin revolusi Indonesia, presiden Sukarno, Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis Indonesia menyatakan dukungan penuh untuk seruan itu dan memohon kepada semua komite dan anggota partai dan para pendukung, juga organisasi-organisasi revolusioner massa yang dipimpin oleh anggota-anggota PKI untuk memungkinkan pelaksanaan seruan itu."

Sementara itu, Sukarno, "pemimpin revolusi Indonesia", sedang bekerjasama dengan penindasan militer itu berharap untuk menyelamatkan lehernya sendiri. Dia memerintahkan pembasmian menyeluruh semua yang dianggap terlibat dalam "peristiwa 30 September" (percobaan kudeta yang dituduhkan dipimpin oleh Kolonel Untung), dan mengijinkan pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. Pada tanggal 15 Oktober ia melantik Suharto sebagai Panglima angkatan bersenjata.

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dihukum mati oleh angkatan bersenjata pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto. Dalam sebuah interview dengan seorang koresponden koran Jepang dia menekankan:

"PKI hanya mengenal satu kepala negara, satu komandan tertinggi, satu pemimpin besar revolusi kita - Presiden Sukarno...Presiden Sukarno menyatukan semua kekuatan-kekuatan rakyat yang akan memutuskan nasib Indonesia."

Semua anggota, kata Nyoto, harus "mendukung penuh perintah-perintah Presiden Sukarno dan berjanji untuk melaksanakan semua itu tanpa ragu...Partai kita berusaha dalam segala kemampuannya untuk mencegah perang saudara."

Dalam kata-kata lain, sementara tukang-tukang jagal militer dan penasehat-penasehat CIA mereka sedang melakukan likuidasi sistematis bukan saja pemimpin-pemimpin PKI, tetapi juga seksi-seksi masyarakat Indonesia yang paling sadar-kelas, PKI memerintahkan kader mereka untuk tidak melawan.

Kebangkrutan dan kebusukan teori "dua-tahap" Stalinis yang bersikeras bahwa rakyat harus mengikat nasib mereka ke Sukarno dan kaum burjuis nasional tidak dapat ditunjukkan secara lebih jelas.

Pengkhianatan oleh PKI dipuji dan didukung oleh birokrasi-birokrasi Stalinis di Moskow dan Beijing. Kremlin menyalahkan elemen-elemen "pemberontak" dan "petualang" dalam PKI untuk kekalahan ini dan mengimbau berulang-ulang untuk "persatuan" revolusi Indonesia dalam NASAKOM-nya Sukarno.

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Dalam sebuah Konperensi Tiga Benua di Havana di bulan February 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan teror kontra-revolusi yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Demikian, pengkhianatan para Stalinis adalah sangat jelas sampai parlemen piaraan junta militer ini dapat mengatakan bahwa kejadian yang diatur oleh CIA pada tanggal 30 September adalah percobaan kontra-revolusioner!

Para Stalinis di Beijing juga mencuci tangan mereka dari nasib rakyat Indonesia. Mereka bahkan datang ke Jakarta untuk Konperensi Dunia melawan Pangkalan-Pangkalan Asing dan berdiri tanpa protes waktu kamerad-kamerad mereka dari Indonesia sedang dicakup di dalam ruang konperensi itu.

Warisan 'Blok Empat Kelas'

Pengkhianatan Stalinis di tahun 1965 adalah puncak dari lebih dari duapuluh tahun pengkhianatan di mana PKI, bekerja berdasarkan teori Stalinis "dua-tahap" dan, khususnya, ideologi Maois "blok empat kelas", mengikat kelas pekerja dan para petani ke rejim burjuis nasionalis Sukarno.

Aidit mengatakan susunan ideologi kekalahan berdarah revolusi Indonesia tidak lama setelah kembalinya dari 18 bulan di Cina di Juli 1950 dan merebut kepemimpinan PKI:

"Kelas pekerja, para petani, kelas menengah dan kelas burjuis nasional harus bersatu dalam sebuah front nasional."

Aidit mengikuti dengan patuh jalan rejim Maois di Cina yang menindas pergerakan mandiri kelas pekerja dan berusaha untuk mendirikan sebuah "Demokrasi Baru", sebuah negara burjuis, dalam kerjasama dengan bagian-bagian dari kelas burjuis nasional dan kelas petit burjuis setelah runtuhnya diktatur Chiang Kai-Shek.

Membeokan Mao, dia menyerukan untuk sebuah "demokrasi rakyat" dan sebuah "front gabungan semua elemen-elemen anti-imperialis dan anti-feodal dalam negeri. Yaitu, kaum pekerja, para petani, kaum petit-burjuis dan kaum burjuis nasional."

Sesuai dengan teori kontra-revolusioner "dua-tahap" Stalinisme, "Tugas dari persekutuan ini adalah untuk membawa keadaan untuk, bukan sosialisme, tetapi perubahan ke arah demokrasi."

Aidit memminta para pekerja dan petani mendukung bukan hanya kelas burjuis nasional, tetapi juga "semua elemen patriotik dan anti-kolonial termasuk kelompok tuan-tanah sayap kiri (agak progresif).

Jurusan inilah, yang dikatakan oleh Aidit tanpa henti, yang digunakan untuk menekan pergerakan-pergerakan kaum pekerja dan para petani, mengikat kaum pekerja ke rejim Sukarno, dan menciptakan keadaan yang mengijinkan angkatan bersenjata untuk menyerang.

Berkali-kali anggota-anggota dan para pendukung PKI diperintahkan untuk menahan perjuangan kelas dan semangat revolusi rakyat yang tertindas untuk mempertahankan "front bersatu nasional".

"Prinsip dasar yang harus kita ikuti dalam melancarkan perjuangan nasional adalah membawahkan kepentingan rakyat untuk perjuangan nasional."

Teori "dua-tahap" Stalinisme bersikeras bahwa di negara-negara koloni dan semi-koloni seperti Indonesia, rakyat tidak boleh mengadakan pergerakan-pergerakan yang mengancam kelas burjuis nasional atau mengemukakan program revolusi sosialis. Perjuangan kelas harus ditahan untuk mendukung kelas burjuis nasional dan mendirikan sebuah demokrasi kapitalis nasional.

Akibat kontra-revolusi berdarah dari arahan Stalinis ini menunjukkan diri pertama kali di Cina di tahun 1926-27 ketika tukang jagal Chiang Kai-Shek menundukkan kelas pekerja di Cina setelah Partai Komunis di sana diberi perintah oleh Kremlin untuk menggabungkan diri dengan kaum burjuis nasionalis dalam Kuomintang.

Pembunuhan-pembunuhan besar yang dilakukan oleh Chiang Kai-Shek menegaskan peringatan-peringatan Trotsky bahwa kaum-kaum burjuis yang lemah dan yang munculnya terlambat dalam sejarah, pada dasarnya tidak dapat untuk melancarkan perjuangan konsisten terhadap imperialisme dan feodalisme. Itu karena untuk melakukan perjuangan itu diperlukanlah penggerakan rakyat dalam sebuah perjuangan revolusioner dan perjuangan seperti itu akan segera menjadi berlawanan dengan posisi kelas kaum burjuis nasional sebagai pemeras kaum pekerja dan petani.

Seperti Trotsky jelaskan dalam tulisannya tentang pengkhianatan Revolusi Cina:

Penggerakan kaum pekerja dan petani terhadap imperialisme hanya dapat dicapai dengan menghubungkan isu-isu dasar dalam kehidupan mereka dengan tujuan kemerdekaan negara. Sebuah aksi mogok pekerja - besar atau kecil - sebuah pemberontakan agraris, pergerakan para rakyat tertindas di kota dan desa terhadap para lintah-darat, terhadap birokrasi, terhadap militer lokal, semua itu membangkitkan banyak hal, yang menggalang mereka bersama, yang mendidik, menguatkan, adalah merupakan sebuah langkah maju yang nyata di jalan ke pembebasan sosial dan revolusioner untuk rakyat Cina...Tetapi segala yang membuat rakyat yang tertindas dan tereksploitasi bertindak akan pasti akan mendorong kaum burjuis nasional ke dalam blok dengan para imperialis. Bentrokan kelas antara kaum burjuis dan para pekerja dan petani tidak akan diperlemah, tetapi sebaliknya akan diperkuat oleh penidasan imperialis, sampai ke perang saudara pada setiap ketegangan serius. (Trotsky, Problems of the Chinese Revolution, New Park 1969 p5).

Peranan kriminal PKI dalam mengikat rakyat Indonesia ke rejim burjuis Sukarno membuat analisa Trotsky bersifat ramalan secara tragis.

Tugas-tugas untuk mengadakan kemerdekaan nasional yang sejati, pembagian kembali tanah, demokrasi dan perkembangan ekonomi yang tak terselesaikan di Indonesia dan negeri-negeri lain yang tertindas menurut sejarah, hanya dapat dilaksanakan dengan kelas pekerja memimpin para petani dalam revolusi sosialis. Yaitu, penentuan nasib sendiri hanya akan terjadi sebagai hasil tambahan dari revolusi sosialis yang dipimpin oleh kaum proletar.

Kemenangan perjuangan ini terikat erat dengan perkembangan revolusi sosialis dunia untuk menggulingkan imperialisme sedunia.

Ini adalah dasar dari teori Marxis Revolusi Permanen yang dikembangkan oleh Leon Trotsky dan dibuktikan oleh kemenangan Revolusi Rusia Oktober 1917.

Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia

A. Pendahuluan

Menurut Yahya Muhaimin, masyarakat Indonesia yang secara sosio-historis merupakan masyarakat plural, sebenarnya mempunyai pola-pola budaya politik yang elemen-elemennya bersifat dualistis. Dualisme tersebut berkaitan dengan tiga hal, yaitu:

1. Dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan yang mengutamakan kedinamisan (konfliktural). Dualisme ini bisa kita lihat dalam interaksi antara budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi.
2. Dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan yang mengutamakan keterbatasan. Fenomena ini merupakan tendensi kemanunggalan militer-sipil dalam proses sosial politik.
3. Dualisme akibat masuknya nilai-nilai barat ke dalam masyarakat Indonesia. Hakikat nilai Barat adalah pandangan hidup yang menempatkan indiidualisme dalam kedudukan yang vital (Muhaimin, Yahya; 52-53).

Pada makalah ini, penulis memfokuskan bahasan pada titik yang pertama yaitu Dualisme Budaya Jawa dan Non Jawa dengan penekanan pada bentuk-bentuk dominasi Budaya Jawa dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia.

B. Tesis Dominasi Budaya Jawa.

Pada bagian ini, penulis akan mengutip 3 pendapat ahli untuk memperkuat judul makalah ini, bahwa dominasi Jawa memang terjadi, sehingga penyataan penulis tidak berupa klaim atau suatu sikap antipati belaka. Nazaruddin Syamsuddin, seorang pakar politik dari FISIP Universitas Indonesia mengemukakan, dalam sejarah politik Indonesia tahun 1950-an tampak adanya dua pola perbenturan yang menonjol, yaitu:

1. Pola pertarungan antara sub budaya politik aristrokrasi Jawa dan kewiraswastaan Islam.
2. Pola perbenturan antara sub budaya politik yang berlindung di balik kepentingan Jawa dan luar Jawa.

Terkait dengan pola yang kedua, menurut Nazaruddin perbenturan antara kelompok-kelompok sub budaya politik Jawa dan Luar Jawa, baik dalam bentuk perlawanan bersenjata maupun tidak, dimensi-dimensi kepentingan politik dan ekonomi selalu hadir, baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Masalah otonomi daerah dan konsekuensi lain yang timbul dari dukungan yang kita berikan pada konsep sentralisasi dan desentralisasi pada umumnya mempunyai dimensi politik, meskipun ada kaitannya pula dengan dimensi ekonomi. Selain itu, persoalan pembagian kekuasaan atau pengaruh politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, dan masalah keseimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa, juga menjadi persoalan krusial (Syamsuddin, Nazaruddin; 42-44).

Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia yang multietnis, sebenarnya bukan dipengaruhi oleh campuran nilai budaya berbagai suku bangsa yang banyak itu. Sebaliknya, yang benar-benar mempengaruhi hanya nilai beberapa suku bangsa tertentu. Diantara beberapa suku bangsa yang sangat berpengaruh, Jawa dengan cara berpikir dan pola hidupnya paling dominan. Dominasi ini disebabkan oleh jumlah masyarakat orang Jawa yang cendrung mendominasi kehidupan politik, dan keberadaan pusat pemerintahan yang kebetulan berada di Jawa. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai keJawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).

Pendapat Yahya tentang dominasi Jawa diamini oleh Aristides Katoppo (Budayawan dari Minahasa Sulawesi Utara). “Budaya politik nasional, termasuk budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari daerah-daerah (budaya lokal).namun, suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah, bahwa dominasi budaya Jawa, terhadap pembentukan budaya politik nasional merupakan suatu keniscayaan. Karena bukan saja kekuasaan negeri ini dikendalikan dari Jawa, tapi struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh orang Jawa, sebagai akibat dari dominannya etnis Jawa secara kuantitatif. Kondisi ini kemudian membuat kecendrungan etnis lain mengakomodir/menyesuaikan dengan tradisi/budaya Jawa, termasuk dalam berdemokrasi (mengelola kekuasaan). Akibat lanjutannya konsep demokrasi dan konsep kekuasaan nasional, sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. (Katoppo, Aristides; 2).

C. Budaya Politik Jawa

Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:

1. Konsep “Halus”

Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.

Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.

Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan (keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan.

2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.

Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.

Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab dilandasi pamrih.

3. Konsep Kebersamaan

Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing”. Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil pusing” (tebal muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap “menolak” secara terus terang.

Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58)

D. Telaah Kritis

Budaya Jawa yang relatif feodal, daripada demokratis berakibat pada feodalisme kekuasaan nasional, merupakan persoalan urgen yang kita hadapi dalam rangka mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Sebelum beranjak lebih jauh mengupas masalah ini, ada baiknya kita mesti memiliki pemahaman tentang indikator kehidupan politik yang demokratis. Bingham Powell, Jr memberikan kriteria tentang hal ini:

1. Legitimasi pemerintahan didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya, klaim pemerintah untuk patuh pada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat.
2. Pengaturan yang mengorganisasi perundingan untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih di antara alternatif calon. Dalam prakteknya, paling terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga piihan tersebut benar-benar bermakna.
3. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
4. Penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa.
5. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan ( Gaffar, Afan; 153).

Melihat indikator ini, dapat dipahami bahwa demokrasi berkaitan erat dengan pertanggungjawaban, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar.

Sekarang kita coba meneropong budaya Jawa terkait dengan indikator ini. Ketika demokrasi menawarkan konsep egalitarian dengan memandang orang lain sama tinggi/sejajar, maka inilah persoalan pertama bagi budaya politik Jawa untuk eksis. Kemudian masalah keterbukaan, kita melihat dualisme sikap budaya Jawa yang cendrung tertutup sangat tidak baik bagi perkembangan demokrasi. Kritik terhadap pemimpin yang dianggap sebagai hal yang tabu menjadikan kedinamisan perbedaan terkekang. Budaya Jawa yang mementingkan keharmonisan membuat warna dialektis cendrung terkekang, kerena perbedaan dinihari dieliminir untuk menjaga keutuhan kebersamaan.

E.Penutup

Sebagai penutup dari makalah ini, baiknya penulis menyampaikan bahwa tujuan penulisan makalah ini bukanlah ingin menjatuhkan, memandang rendah, mengolok-olok budaya Jawa dalam konteks pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Namun, tujuan penulis hendak memaparkan tentang kecendrungan yang terjadi selama ini. Didukung dengan analisis-analisis para akademisi penulis mencoba untuk objektif mamaparkan masalah yang sensitif ini. Meskipun, budaya politik Jawa cendrung feodalistik, bukan berarti penulis mengatakan orang Jawa itu tidak demokratis. Negara kita didirikan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, dan sebagian besar perumusnya berasal dari Jawa. Telaah penulis lebih kepada kajian budaya, bukan spesifik kepada personal.
Akhirnya, penulis berharap makalah ini bermanfaat dalam proses pembelajaran pada perkuliahan ini.

F. Daftar Pustaka

* Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin (Ed), 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. PT Temprint; Jakarta.
* Najid, Muhammad dkk (Ed), 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. LKPSM; Yogyakarta.

Menakar Potensi Pemilih 2009

Oleh: Suwardiman;

Dalam dua tahun terakhir proses dan sistem politik Indonesia berubah menjadi lebih demokratis. Ditengah segala kekurangannya, Pemilu 2004 menuai pujian karena berjalan lancar dan aman. Namun, yang perlu dicatat adalah apatisme masyarakat terus meningkat.

Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 merosot dua kali lipat lebih dari sebelumnya. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang diharapkan mampu membangkitkan antusiasme dan semangat baru pada tataran lokal di banyak daerah ternyata juga setali tiga uang. Tingkat partisipasi pemilih rendah! Lalu, bagaimana prospek pada Pemilu 2009?

Sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak tahun 1971 hingga Pemilu 2004, tren persentase pemilih yang menggunakan hak pilih memang terus melorot. Titik penurunan mulai terjadi secara signifikan pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya naik menjadi 7,2 persen dibandingkan dengan Pemilu 1997 (6,4 persen).

Saat semangat demokratisasi menggiring perubahan yang lebih esensial dengan menyentuh perubahan konstitusi, aturan tentang pemilu dalam UUD 1945 juga diubah. Mulai tahun 2004 pemilu diselenggarakan secara langsung.

Ironisnya, antusiasme berpolitik masyarakat turun semakin tajam justru saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya.

Rangkaian pemilu yang diselenggarakan langsung secara berturut-turut pada tahun 2004 menorehkan catatan semakin banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam pemilu legislatif, sedikitnya 84 persen pemilih terdaftar yang menggunakan suaranya. Kemudian pada pemilu presiden partisipasi masyarakat turun menjadi 78,23 persen.

Pada pemilu presiden putaran kedua, tingkat partisipasi pemilih melorot lebih jauh lagi menjadi 76,63 persen. Fenomena ini seolah menguatkan pertanyaan Anthony Giddens (Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives, 1999), haruskah kita menerima, lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik di mana demokrasi justru marak?

Sebenarnya fenomena apatisme masyarakat terhadap pemilu bukan hanya khas Indonesia. Di negara-negara yang jauh lebih matang demokrasinya terjadi penurunan antusiasme politik yang lebih besar. Giddens menyebutnya sebagai paradoks demokrasi. Ketika demokrasi menyebar ke seluruh dunia, justru di negara-negara yang demokrasinya sudah

maju timbul kekecewaan atas proses demokrasi. Kepercayaan terhadap politisi menurun. Orang yang menggunakan hak pilih dalam pemilu menyurut. Semakin banyak orang yang tidak tertarik pada politik parlemen, terutama dari kelompok muda.

Untuk fenomena di Indonesia, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, menyatakan apatisme masyarakat timbul akibat kekecewaan karena tidak adanya perubahan signifikan yang dirasakan rakyat. Saat reformasi digulirkan, harapan masyarakat luar biasa besar. Namun, elite yang berkuasa tidak membawa perubahan yang lebih nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat lalu kehilangan kepercayaan pada politisi dan prosedur demokratik.

Partai politik sebagai salah satu pemegang kunci untuk membangun kepercayaan konstituennya harusnya bias menumbuhkan harapan perubahan. Namun, seperti yang diungkap Kacung, kepercayaan masyarakat pada parpol justru terus merosot. Mayoritas parpol terbukti hanya menyentuh konstituennya di saat-saat menjelang pemilu, dengan tujuan pragmatis mengumpulkan suara. Setelah pesta usai, peran parpol seperti hilang begitu saja.

Jika perilaku parpol tak berubah, boleh jadi apatisme masyarakat pada Pemilu 2009 akan meningkat lebih jauh, terutama di kelompok pemilih muda. Padahal, sebagai kelompok pemegang jumlah terbanyak, kelompok muda ini merupakan sasaran paling potensial untuk dibidik pada Pemilu 2009.

Para pemilih muda yang menjadi potensi besar dalam Pemilu 2009 adalah pemilih pemula dan yang telah mengikuti satu atau dua pemilu sebelumnya, yaitu mereka yang berusia 18 sampai 30-an tahun. Catatan proyeksi penduduk Indonesia yang dibuat Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 sebesar 231,3 juta jiwa, 70 persen di antaranya adalah kelompok usia pemilih. Kelompok pemilih muda tercatat merupakan jumlah terbanyak di antara kelompok usia pemilih. (Grafik) Pada Pemilu 2009, dari sekitar 170 juta penduduk, 59 persen di antaranya adalah pemilih yang berusia 20-40 tahun.

Inilah kelompok yang paling berpotensi untuk dirangkul. Namun, kelompok ini juga yang rentan menjadi kelompok golongan putih alias golput. Dalam kelompok ini banyak terangkum pemilih dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda yang lebih kritis daripada kelompok usia lain. Meskipun tidak ada angka pasti, sebagian pengamat yakin sebagian besar golput berasal dari kelompok ini.

Proyeksi penduduk Indonesia empat tahun ke depan juga menampakkan pergeseran proporsi penduduk desa dan kota. Konsentrasi penduduk diproyeksikan beralih ke wilayah perkotaan. Jika selama ini konsentrasi penduduk lebih banyak di

daerah pedesaan, empat tahun ke depan proporsi penduduk kota melesat jadi 54,2 persen dari total 234 juta jiwapenduduk Indonesia. Angka itu cukup signifikan dibandingkan dengan proporsi penduduk kota tahun 2005 yang hanya 48 persen.

Pergeseran itu boleh jadi akan menguatkan perubahan perilaku politik masyarakat yang terekam selama ini. Kacung menyimpulkan, perilaku politik di tengah masyarakat pemilih di Indonesia mulai berubah selama satu dekade terakhir, seiring dengan arus kebebasan dan upaya demokratisasi yang makin gencar.

Sebagai gambaran, di akhir periode Orde Baru, Afan Gaffar dalam buku Javanese Voters (1992) melakukan studi tentang perilaku politik pemilih di daerah pedesaan di Jawa. Di antaranya tercatat pola perilaku pemilih di wilayah pedesaan yang masih kental dengan isu sosioreligi. Keputusan mereka memilih lebih banyak dipengaruhi semangat budaya dan keagamaan, polarisasi masyarakat (khususnya di Jawa) yang pada dasarnya masih mengikuti prinsip aliran.

Hal lain yang biasanya memengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan adalah kuatnya peran pimpinan lokal, seperti lurah atau kepala desa. Saat ini, perilaku politik itu bukan sama sekali tidak lagi menjadi orientasi yang melatarbelakangi pilihan masyarakat.

Namun, gencarnya teknologi yang mengantar informasi sampai ke pelosok daerah boleh jadi mengubah paradigma berpikir masyarakat dan sedikit banyak memberi peran dalam proses pendidikan politik masyarakat.

Suasana yang lebih bebas dan masyarakat yang lebih kritis juga menyebabkan pemilih lebih rasional dalam menentukan pilihan. Menurut Kacung, pemilih berdasarkan patronase yang sebelumnya kuat di daerah pedesaan mulai berkurang.

Masyarakat lebih mampu melihat performa pimpinan serta parpol, dan ini yang lebih melatarbelakangi pilihan mereka. Realitas itu rupanya disadari sebagian partai baru yang berlaga pada Pemilu 2004. Partai baru seperti Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera cenderung berhasil merangkul pemilih di daerah perkotaan. Sementara partai-partai lama lebih banyak dipilih warga pedesaan.

Isu-isu segar yang diusung partai-partai baru tampaknya cenderung menjadi pilihan pemilih perkotaan. Pemilih dari wilayah inilah yang diproyeksikan mendominasi bursa pemilih tahun 2009. Padahal, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pemilih golput di wilayah perkotaan cenderung lebih besar. Lalu, bagaimana Pemilu 2009 nanti? Adakah perubahan yang meningkatkan antusiasme pemilih? Lihat saja…. (Litbang

Kompas)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/19/Politikhukum/2965666.htm

BUDAYA DAN STRUKTUR POLITIK

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

Sistem politik terdiri dari tradisional, transisi dan modern

Sistem politik itu sangat luas namun bila diringkaskan bisa dilihat dari dua sudut pandang yatu kultur (budaya) atau struktur (lembaga).

BUDAYA POLITIK

Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik.

Budaya politik berbeda dengan peradaban politik yang lebih dititiktekankan pada teknologi.

Budaya politik dilihat dari perilaku politik masyarakat antara mendukung atau antipati juga perilaku yang dipengaruhi oleh orientasi umum atau opini publik.

Tipe budaya politik

1. Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.

2. Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input.

3. Budaya partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik.

4. budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.

Ketika melihat budaya politik di Indonesia kita bisa melihat dari aspek berikut:

a. Konfigurasi subkultur. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beragam, namun semuanya sudah melebur menjadi satu bangsa sehingga tidak muncul kekhawatiran terjadi konflik. Berbeda dengan india yang subkulturnya sangat beragam bahkan terjadi sekat antar kasta.

b. Bersifat Parokial kaula. Karena masyarakat Indonesia mayoritas masih berpendidikan rendah maka budaya politiknya masih bersifat parokial kaula.

c. Ikatan primordial, sentimen kedaerahan masih muncul apalagi ketika Otonomi Daerah diberlakukan.

d. Paternalisme, artinya masih muncul budaya asal bapak senang (ABS)

e. Dilema interaksi modernisme dengan tradisi. Indonesia masih kuat dengan tradisi namun modernisme mulai muncul dan menggeser tradisi tersebut sehingga memunculkan sikap dilematis.

STRUKTUR POLITIK

Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.

Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik.

Ketika berbicara struktur politik maka yang akan diperbincangkan adalah tentang mesin politik sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan jenisnya mesin politik terbagi dua yaitu :

1. Mesin politik Informal

- Pengelompokan atas persamaan sosial ekonomi

· Golongan petani merupakan kelompok mayoritas (silent majority)

· Golongan buruh

· Golongan Intelegensia merupakan kelompok vocal majority

- Persamaan jenis tujuan seperti golongan agama, militer, usahawan, atau seniman

- Kenyataan kehidupan politik rakyat seperti partai politik, tokoh politik, golongan kepentingan dan golongan penekan.

2. Mesin politik formal

Mesin politik formal berupa lembaga yang resmi mengatur pemerintahan yaitu yang tergabung dalam trias politika :

- Legislatif

- Eksekutif

- Yudikatif

Fungsi Politik

  1. Pendidikan politik
  2. Mempertemukan kepentingan atau mengakomodasi dan beradaptasi
  3. Agregasi kepentingan yaitu menyalurkan pendapat masyarakat kepada penguasa, disini penyalurnya berarti pihak ketiga
  4. Seleksi kepemimpinan
  5. komunikasi politik yaitu masyarakt mengemukakan langsung pendapatnya kepada penguasa demikian pula sebaliknya.